Selasa, 24 November 2009

AKADEMISI DILARANG BERPOLITIK




print this page Cetak

Masih teringat dibenak kita akan kebijakan politik orde baru yang mengekang aktivitas politik di dalam kampus. Selama lebih dari 30 tahun ruang gerak mahasiswa dibatasi hanya melakukan aktivitas akademisnya. Nuansa kampus menjadi sepi dari pergerakan politik secara nyata. Kampus seperti kuburan tanpa suara rakyat yang mesti diperjuangkan. Lingkungan kampus berada pada kekuasaan otoritas pemerintah. Semua kebijakan yang berlaku di kampus didesain untuk menghindari kritik dan keterlibatan mahasiswa serta seluruh stakeholder kampus dalam politik praktis.

Di era reformasi harapan untuk mendapatkan kebebasan berpolitik menjadi tuntutan seluruh warga Indonesia. Setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya dan berkecimpung di dunia politik. Namun, apakah harapan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya? Apakah harapan dan tuntutan itu dapat berjalan secara adil dan menyeluruh? Apakah keterlibatan seluruh anak bangsa dalam dunia politik mendapatkan kesempatan yang sama?

Rupanya tidak semua warga negara dapat dengan mudah mendapatkan kebebasan berpolitik. Politik hanya dinikmati oleh golongan tertentu. Hanya orang-orang yang berpendidikan tinggi yang dapat mengakses dunia politik. Kalau dilihat dari jumlah penduduk Indonesia sebagian besar berpendidikan di bawah tingkat perguruan tinggi. Hanya kurang dari 30% masyarakat Indonesia yang lulus perguruan tinggi. Bahkan dari jumlah yang sedikit ini, para akademisi ini pun tidak serta-merta mudah menjadi politikus.

Para akademisi yang setia mengabdi pada ilmu yang digelutinya seolah-olah hanya diciptakan untuk hidup di dunia kampus. Ruang gerak mereka untuk memasuki dunia politik dibatasi secara nyata. Hanya sedikit dari para ilmuwan ini yang diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan kenegaraan. Posisi-posisi dalam politik banyak dipegang oleh orang yang memiliki partai. Sedangkan bagi mereka yang murni dan ingin mengabdi pada negara dengan bermodal keprofesionalannya jumlahnya hanya sedikit. Padahal di Jepang telah muncul trend bahwa jabatan-jabatan politik akan dipegang oleh para ilmuwan atau orang-orang akademis.



Pembatasan ruang gerak para akademisi di dunia politik sangat terlihat pada akhir-akhir ini. Kasus tuduhan korupsi yang menimpa para akademisi kampus yang tidak memiliki basis massa partai politik adalah salah satu bukti kepongahan dari kebijakan pemerintah. Sebagai contoh kasus yang menimpa Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan Prof. Nazarudin Samsudin adalah bukti tindakan KPK yang tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Para pengambil kebijakan secara pragmatis menjadikan para akademisi yang polos di dunia politik ini menjadi tumbal dalam mencari kepopuleran kebijakan politiknya. Sedangkan para koruptor kelas kakap dan mendapat backingan dari parpol dengan seenaknya berkeliaran. Inilah bukti ketidakadilan pemerintah dan manifestasi pemerintah yang untuk kesekiankalinya tidak menghargai jasa para ilmuwan. Atau apakah Indonesia memang benar-benar bukan bumi tempat tinggalnya ilmuwan?

Dua contoh kasus diatas (pengekangan mahasiswa pada zaman Orde Baru dan pembatasan ruang gerak para akademisi) menggambarkan bahwa indonesia belum menjadi daerah yang nyaman bagi para akademisi untuk berpolitik. Kondisi ini harus segera direformasi dan segera mengubah paradigma tentang peran para ilmuwan atau akademisi di dunia politik dan kenegaraan yang lebih besar. Semoga!
Sumarto




0 komentar:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Copyright 2009 Sebuah goresan hati dari bumi raflesia. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy